Senin, 16 April 2012

REVIEW FILM "BUKA MATA DAN HATI DENGAN TANDA TANYA"


Ketika saya mengetik “Tanda Tanya film” di Google, salah satu link teratas yang tersedia tertulis “Hati-hati Menonton Film Tanda Tanya”. Film ini dirilis bulan April tahun lalu. Saat itu saya tidak sempat menonton di bioskop. Sejak itu, rekan Tommy Tjokro yang sesama penikmat film telah merekomendasikan film ini berkali-kali. Akhir pekan lalu, saya akhirnya dapat menikmati film ini dalam bentuk DVD. Saya sempat khawatir film ini tidak akan dirilis dalam bentuk kepingan karena kontroversi yang menyelimuti film ini saat tayang di bioskop tahun lalu.

Tanda Tanya berkisah tentang tiga keluarga dengan latar belakang berbeda. Keluarga Tan Kat Sun (Hengky Solaiman) memiliki bisnis restoran Cina. Selain menyajikan mie ayam, restoran Tan juga menyajikan mie babi. Dalam menjalankan bisnis ini, Tan Kat Sun dibantu istrinya dan juga salah seorang pelayan kepercayaannya Menuk (Revalina Temat) yang beragama Islam. Demi menghormati tamunya dan pelayannya yang muslim, Tan memisahkan seluruh perangkat masak halal dan tidak halal. Menuk pun tidak keberatan bekerja di restoran ini.

Ketika pulang ke rumah, Menuk menemui suaminya Soleh (Reza Rahadian) yang telah lama menganggur. Status pengangguran ini perlahan melukai ego Soleh selaku laki-laki dan suami yang menurutnya harus menjadi panutan keluarga. Namun suatu ketika, ia mendapat kesempatan menjadi anggota banser Gerakan Pemuda Ansor NU yang terkadang membantu menjaga gereja-gereja saat umat Kristen merayakan Hari Raya.

Nah, di gereja inilah seorang pemuda muslim bernama Surya (Agus Kuncoro) bekerja sebagai aktor yang memerankan Yesus pada misa paskah. Ia berteman dengan janda anak satu Rika (Endhita) yang pindah agama. Ia cerai dengan suaminya karena tidak rela dan kecewa dengan sang suami yang ingin berpoligami. Rika mungkin pindah agama. Namun anaknya tetap seorang muslim. Ia yang kini beragama Kristen masih membantu anaknya belajar solat dan merayakan Idul Fitri bersama. Sementara anaknya juga membantu Rika menghias pohon natal saat natal tiba.

Tanda Tanya memiliki tema yang sangat kontekstual dengan Indonesia sekarang. Pengambilan gambar sangat indah. Akting dari seluruh aktor yang terlibat maksimal. Seluruh elemen ini ketika dikombinasikan dengan arahan sutradara Hanung Bramantyo dan penulis naskah Titien Wattimena menghadirkan film yang mampu menyentuh para penontonnya.

Tanda Tanya (“?”) adalah salah satu film Indonesia yang berani. Berani memperlihatkan wajah toleransi beragama Indonesia yang sebenarnya akhir-akhir ini. Wajah Indonesia yang memiliki warna Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Hindu. Wajah Indonesia yang pernah cantik berseri – bangga dengan keanekaragaman budaya dan kepercayaan – namun akhir-akhir ini seringkali penuh air mata karena keanekaragaman ini kini menjadi “ajang” bertengkar dan adu kesucian bagi kelompok-kelompok tertentu yang tidak suka dengan perbedaan dan ingin menghomogenisasi Indonesia.

Film ini menuai kontroversi saat tayang di bioskop tahun lalu. Majelis Ulama Indonesia meminta film ini ditarik dari peredaran. “Film ini jelas menyebarkan faham pluralisme agama yang telah difatwakan sebagai faham yang salah dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya. . . Cara pandang seperti ini menunjukkan bahwa pembuat film ini berdiri pada perspektif bukan sebagai seorang Muslim, tetapi sebagai seorang yang netral agama, yang memandang semua agama adalah menyembah Tuhan yang sama,” kata Ketua MUI Pusat Bidang Budaya saat itu KH A. Cholil Ridwan.

Sementara anak tokoh Islam pluralis Gus Dur, Yenny Wahid, berpendapat berbeda.

“Film ini jangan ditonton sepenggal-penggal saja. Soalnya di situ menceritakan ada orang yang masuk Kristen. Ada Islam yang memerankan Yesus. Film ini punya kesan bahwa semua orang ingin mencari kedamaian. Intinya, manusia harus bersikap baik kepada semua orang. Film ini berhasil mengungkapkan ke-Bhineka Tunggal ika-an, pluralitas yang ada di Indonesia. Film ini harus masuk ke kita dengan hati yang terbuka. Secara keseluruhan, film ini mengkompress nilai kehidupan yang banyak akan ragamnya, sehingga sangat baik dan bagus untuk ditonton,” jelas Yenny.

Yenny Wahid sempat menitikkan air mata saat Soleh meledak berkeping-keping ketika berusaha menyelamatkan umat gereja yang sedang merayakan natal dari ledakan bom. Saya pun menangis di adegan yang sama. Namun kesedihan saya bertambah ketika saya sadar adegan ini adalah gambaran nyata tergerusnya toleransi beragama di Indonesia. Sejumlah pertanyaan mengusik benak. Apakah normal pasukan polisi menyisir tempat-tempat ibadah sebelum dan saat perayaan hari besar? Apakah kita sebagai umat beragama, apapun itu kepercayaaannya, harus selalu waspada dan merasa ketakutan saat merayakan hari besar? Apakah ini yang kita ingingkan di Indonesia?

Kalau boleh mengutip kata Gus Dur, “Tuhan tak perlu dibela. Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.”

Tanda Tanya bisa menjadi kaca bagi para penontonnya untuk berefleksi dan melihat bahwa toleransi beragama yang murni dan tulus lebih penting daripada sibuk mencari-cari perbedaan yang buntutnya hanya akan memecah bangsa yang selama ini terkenal dengan keanekaragamannya. Karena, kalau boleh mengutip salah satu dialog Tanda Tanya, “semua jalan setapak itu berbeda-beda namun menuju ke arah yang sama. . . Tuhan.”

Hidup Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap Satu. Unity in diversity is Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar