Selasa, 08 Januari 2013

MAKNA RABU PUNGKASAN

RABU PUNGKASAN/ REBO WEKASAN

Hari ini RABU, 09-01-2012
Menurut sebagian muslimin ada yang menamakan dengan REBO WEKASAN.
Apakah benar ada syariat tuntunan dari Nabi?

Yukz kita baca lebih lanjut . . .

===>

Di antara anggapan dan
keyakinan keliru yang terjadi
di bulan Shafar adalah adanya
sebuah hari yang diistilahkan
dengan Rebo Wekasan. Dalam
bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’
artinya terakhir. Kemudian
istilah ini dipakai untuk
menamai hari Rabu terakhir
pada bulan Shafar
(diperkirakan pada bulan Shafar tahun ini (1431 H)
bertepatan dengan tanggal 10
Februari 2010). Di sebagian
daerah, hari ini juga dikenal
dengan hari Rabu Pungkasan.

Apakah Rebo Wekasan itu?

Sebagian kaum muslimin
meyakini bahwa setiap tahun
akan turun 320.000 bala’,
musibah, ataupun bencana
(dalam referensi lain 360.000
malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi
pada hari Rabu terakhir bulan
Shafar. Sehingga dalam upaya
tolak bala’ darinya,
diadakanlah ritual-ritual
tertentu pada hari itu. Di antara ritual tersebut adalah
dengan mengerjakan shalat
empat raka’at -yang
diistilahkan dengan shalat
sunnah lidaf’il bala’ (shalat
sunnah untuk menolak bala’)- yang dikerjakan pada waktu
dhuha atau setelah shalat
isyraq (setelah terbit
matahari) dengan satu kali
salam. Pada setiap raka’at
membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17
kali, surat Al-Ikhlas 50 kali
(dalam referensi lain 5 kali),
Al-Mu’awwidzatain (surat Al-
Falaq dan surat An-Nas)
masing-masing satu kali. Ketika salam membaca
sebanyak 360 kali ayat ke-21
dari surat Yusuf yang
berbunyi:

“Dan Allah berkuasa terhadap
urusan-Nya, tetapi
kebanyakan manusia tiada
mengetahuinya.”

Kemudian ditambah dengan
Jauharatul Kamal tiga kali dan
ditutup dengan bacaan (surat
Ash-Shaffat ayat 180-182)
berikut:

Ritual ini kemudian
dilanjutkan dengan
memberikan sedekah roti
kepada fakir miskin. Tidak
cukup sampai di situ, dia juga
harus membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu
pada secarik kertas, kemudian
dimasukkan ke dalam sumur,
bak kamar mandi, atau
tempat-tempat penampungan
air lainnya.

Barangsiapa yang pada hari itu
melakukan ritual tersebut,
maka dia akan terjaga dari
segala bentuk musibah dan
bencana yang turun ketika
itu.

Kaum muslimin
rahimakumullah, dari mana
dan siapakah yang
mengajarkan tata cara / ritual
‘ibadah’ seperti itu?

Dalam sebagian referensi
disebutkan bahwa di dalam
kitab Kanzun Najah karangan
Syaikh Abdul Hamid Kudus
yang katanya pernah
mengajar di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah,
diterangkan bahwa telah
berkata sebagian ulama ‘arifin
dari ahli mukasyafah[1]
bahwa pada setiap tahun akan
turun 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya
pada setiap hari Rabu terakhir
bulan Shafar. Bagi yang shalat
pada hari itu dengan tata cara
sebagaimana tersebut di atas,
maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya
tersebut.

Mungkin inilah yang dijadikan
dasar hukum tentang
‘disyari’atkannya’ ritual di
hari Rebo Wekasan tersebut.
Namun ternyata amaliyah
yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-
Qur’an maupun Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Generasi salaf dari kalangan
shahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in tidak pernah melakukan apalagi
mengajarkan ritual semacam
itu. Demikian pula generasi
setelahnya yang senantiasa
mengikuti jejak mereka
dengan baik.

Keyakinan tentang Rebo
Wekasan sebagai hari
turunnya bala’ dan musibah
adalah keyakinan yang batil.
Lebih batil lagi karena
berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah
ritual tertentu untuk menolak
bala’ dengan tata cara yang
disebutkan di atas. Sementara
keyakinan dan ritual tersebut
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya radhiyallahu
‘anhum, dan tidak pula
dicontohkan oleh para imam
madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-
Syafi’i, dan Ahmad bin
Hanbal), tidak pula mereka
membimbing dan mengajak
para murid serta pengikut
madzhabnya untuk melakukan yang demikian.

Para ulama dan kaum
muslimin yang senantiasa
menjaga aqidah dan
berpegang teguh dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-
Nya hingga hari ini -sampai akhir zaman nanti- juga tidak
akan berkeyakinan dengan
keyakinan seperti ini dan
tidak pula beramal dengan
amalan yang tidak pernah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dan generasi salaf tersebut.

Jika keyakinan dan ritual
ibadah tersebut tidak berdasar
pada Al-Qur’an dan sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, tidak pula sebagai
amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para
imam madzhab yang empat,
maka sungguh amalan
tersebut bukan bagian dari
agama yang murni.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang beramal
dengan suatu amalan yang
bukan termasuk bimbingan
dan petunjuk kami, maka
amalan itu tertolak.”
(HR. Muslim).

Semoga Allah subhanahu
wata’ala senantiasa menjaga
kita dan kaum muslimin dari
berbagai penyimpangan
dalam menjalankan agama ini.
Aamiin.

Ditulis oleh Abu ‘Abdillah
Kediri.
[1] Istilah ulama ‘arifin (secara
bahasa maknanya adalah
orang-orang yang
mengetahui) dan ahli mukasyafah (secara bahasa
maknanya adalah orang-
orang yang bisa menyingkap)
inipun juga tidak dikenal di
kalangan salaf. Istilah ini
dikenal di kalangan penganut paham shufiyyah sebagai
penamaan bagi orang-orang
‘khusus’ yang mengerti
sesuatu tanpa melalui proses
belajar, dalam bahasa jawa
disebut ngerti sakdurunge winarah. Mereka -yakni ulama
‘arifin dan ahli mukasyafah
itu- juga diyakini bisa
bertemu langsung dengan
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan bahkan bertemu dengan Allah
subhanahu wata’ala di dunia
maya, sehingga mereka bisa
menyingkap sesuatu (dari
perkara ghaib) yang tidak bisa diketahui oleh selain mereka.

Ini semua tentunya adalah
keyakinan yang batil, dan
pembahasan seperti ini
sangatlah panjang. Yang
penting bagi kita adalah
berupaya menjalankan agama ini -beraqidah, beribadah,
berakhlak, bermu’amalah, dan
lainnya dari urusan diniyyah-
benar-benar bersumber dan
sesuai dengan bimbingan Al-
Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafus shalih,
bukan pemahaman selain
mereka.
Wallahu a’lam