PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR ASAM-BASA SISWA SMA KELAS XI MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS BUDAYA PESISIR
A. Latar Belakang Masalah
Program dan proses pembelajaran kimia yang dilaksanakan khususnya pada materi pokok asam-basa pada tingkat pendidikan menengah belum memanfaatkan aspek tradisi budaya setempat.
Hasil observasi awal penulis terhadap proses pembelajaran kimia di SMA
Negeri 2 Tanjungpinang menunjukan bahwa guru juga belum memanfaatkan
budaya masyarakat pesisir yang merupakan budaya keseharian siswa. Siswa
cenderung pasif dalam mengikuti proses pembelajaran pada materi pokok
asam-basa. Pembelajaran dilakukan dengan cara konvensional dengan metode
ceramah, tanya jawab, dan latihan soal-soal. Pembelajaran yang kurang
inovatif tersebut menyebabkan siswa bosan sehingga hasil belajar kurang
maksimal. Guru kimia yang mengajarkan materi pokok asam-basa hanya mampu
mematok Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 68. Hasil belajar dan
keterlibatan siswa pada proses pembelajaran tersebut menunjukan
perlunya penerapan inovasi model pembelajaran yang meninjau latar
belakang keseharian siswa yang merupakan bagian dari masyarakat pesisir.
Pembelajaran
sains di sekolah yang berlandaskan pada praktek budaya sangat
disarankan dan dapat lebih membelajarkan siswa melalui suatu pendekatan
konsep dalam kerangka konteks sistem holistik seperti bidang kajian ilmu
kelautan (Lambert, 2005). Ilmu kimia sebagai kajian sains merupakan
suatu sistem pengetahuan yang mencerminkan praktek-praktek budaya. Siswa
berpikir dan mengemukakan hasil pikirannya sesuai dengan praktek budaya
asal keseharianya (Aikenhead, 2005). Pembelajaran ilmu kimia di sekolah
harus mempertimbangkan aspek latar belakang budaya siswa. Pembelajaran
sains (kimia) di sekolah yang memperhatikan budaya anak didik (Baker,
1995; Klos, 2006) dapat berperan dalam pembudayaan sains bagi siswa.
Pendekatan lintas budaya ini dapat dilakukan dengan cara menyelaraskan
sains barat dan sains asli (Stanley & Brickhouse, 2001).
Pendidikan
sains yang bermuatan budaya agraris penting bagi siswa di wilayah
masayarakat berbudaya agraris, demikian juga bagi siswa yang berasal
dari masyarakat berbudaya bahari daerah pesisir, sains berbasis budaya
bahari akan lebih bermakna serta bermanfaat bila kelak ia berkecimpung
di masyarakat. Pernyataan tersebut sejalan dengan penyeimbangan
pendekatan budaya, sebagaimana pendapat Cobern dan Aikenhead (1996)
yaitu suatu subkultur sains modern (Barat) yang diajarkan di sekolah
secara terintegrasi dengan subkultur kehidupan keseharian siswa
berakibat pada pengajaran sains memiliki kecenderungan memperkuat
pandangan siswa tentang alam lingkungan hidupnya sebagai suatu
pembudayaan (enculturation).
Pembelajaran
di sekolah yang dilangsungkan saat ini berlandaskan pada pengembangan
sains Barat. Pembelajaran sains yang merupakan hasil pengembangan budaya
barat menempatkan siswa yang berasal dari budaya non-barat pada batas
wilayah budaya dengan cara pandang berbeda. Hal ini menuntut siswa untuk
dapat melintasi batas budaya “border crossing” agar dapat
menerima sains barat sebagai cara pandang dunia siswa di sekolah. Upaya
melintasi batas budaya ini menyulitkan bagi siswa dalam belajar sains
(Jegede & Aikenhead, 1999). Pembelajaran tersebut terlepas dari
konteks lingkungan budaya keseharian siswa di Indonesia. Pembelajaran
sains yang tidak memberikan bekal kehidupan bagi siswa dalam hidup
bermasyarakat, kelak dapat menghasilkan generasi-generasi pembentuk
masyarakat yang mengabaikan lingkungan hidupnya.
Pendidikan
sains (kimia) yang telah dilangsungkan dan sedang berlangsung yang
cenderung menekankan penguasaan materi sains bagi siswa sekolah menengah
(Depdiknas, 2007a). Siswa merasa kesulitan menguasai hukum maupun
konsep-konsep penting saat mengikuti pembelajaran dan bertanggapan
negatif terhadap kimia maupun pembelajaranya (Jong, 2000). Meskipun
diberikan keleluasaan bagi guru untuk menyusun muatan materi
pembelajaran sains yang dapat menggali dan memanfaatkan potensi daerah
namun terbentur pada keterbatasan kemampuan guru untuk melakukannya.
Guru sains terjebak pada penyajian materi sains yang terlepas dari
pengalaman, latar belakang, kebutuhan kehidupan keseharian, serta
mengabaikan kebutuhan siswa.
Penulis
telah mengembangkan suatu langkah-langkah model pembelajaran berbasis
budaya dan diterapkan pada pembelajaran asam-basa di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) (Basuki & Liliasari, 2010). Pembelajaran materi pokok
asam-basa di SMP yang meninjau keseharian siswa dapat meningkatkan
penguasaan konsep, siswa lebih aktif, dan merasa senang belajar kimia.
Penguasaan konsep siswa meningkat karena terkait dengan aktivitas
keseharian mereka dan merasa senang belajar kimia. Hasil ini menunjukan
pembelajaran berbasis budaya pesisir perlu diterapkan pada proses
pembelajaran materi pokok asam-basa. Penerapan model pembelajaran
tersebut penting untuk dilakukan dalam upaya meningkatkan aktivitas dan
hasil belajar siswa SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa.
B. Perumusan Masalah
Latar
belakang masalah telah mengungkapkan pentingnya peran pembelajaran
kimia berbasis budaya. Pembelajaran berbasis budaya memiliki potensi
menanggulangi permasalahan yang timbul dalam proses pembelajaran kimia
pada materi pokok asam-basa yang dialami siswa SMA. Masalah penelitian
dirumuskan dalam permasalah utama yaitu bagaimana model pembelajaran
berbasis budaya pesisir dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar
siswa SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa? Permasalahan utama dapat
diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa?
2. Apakah proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI dapat meningkatkan hasil belajar siswa?
3. Apakah proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI dapat meningkatkan aktivitas siswa?
4. Bagaimana tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah
1. Merancang kegiatan proses pembelajaran kimia berbasis budaya bagi siswa SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa.
2. Mengungkap tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran kimia berbasis budaya pesisir di SMA Kelas XI.
3. Meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa SMA Kelas XI pada materi pokok asam-basa.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat memberikan manfaat bagi:
1. Guru: memudahkan guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proses pembelajaran materi pokok asam-basa bagi siswa SMA.
2. Siswa: memudahkan siswa SMA Kelas XI dalam mempelajari konsep asam basa
3. Sekolah
dan Dinas Pendidikan dalam menyusun rencana pengadaan sarana dan
prasarana yang mendukung proses pembelajaran kimia di SMA
E. Kajian Teori
1. Sains dan Kimia sebagai Subudaya
Manusia,
dalam menjalani kehidupan sebagai individu secara mandiri maupun
berkelompok dalam bermasyarakat selalu mengadakan interaksi dengan
lingkungannya. Interaksi antara seseorang
dengan orang lain, seseorang dengan masyarakatnya, interaksi dengan
orang dan masyarakat lainnya maupun lingkungan alamnya. Interaksi yang
amat kompleks ini dilakukan dalam rangka menghadapi tantangan alam,
memenuhi berbagai kebutuhan hidup baik fisik maupun psikisnya. Berpikir
dan bertindak merupakan tuntutan dalam kehidupan seseorang di
masyarakat. Adanya kemampuan berpikir dan bertindak, seorang secara
individu maupun kelompok memunculkan ide-ide. Hasil dari ide-ide
tersebut berbentuk objek-objek berupa materi maupun non-materi.
Tindakan
terkait dengan pembentukan pranata. Pranata sosial sebagai tanggapan
bersama dalam kelompok atau kebiasaan hidup komunitas. Secara khusus
pranata sosial merupakan keseluruhan tindakan komunitas yang tertuju
pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama,
berdasarkan keadaan itu pula terdapat respon yang sama di pihak
komunitas (Ritzer & Goodman, 2005). Ide
dan objek material yang merupakan hasil karya seseorang atau sekelompok
orang dan diadopsi dalam rangka kebutuhan kehidupan kolektif
selanjutnya menjadi suatu budaya masyarakat tersebut. Budaya suatu
masyarakat dimaksud sesuai dengan pendapat bahwa budaya “Culture” merupakan: kompleks
keseluruhan dari ide-ide dan objek-objek material yang merupakan hasil
kreasi seseorang atau sekelompok orang dari suatu masyarakat dan
diadopsi sebagai suatu yang dibutuhkan untuk diamalkan dalam kehidupan
kolektif (Kammeyer et al., 1990).
Sains
merupakan hasil pemikiran dari seseorang atau sekelompok orang dari
suatu masyarakat berdasarkan tantangan stimulus lingkungan. Produk sains
dapat bersifat material seperti perangkat teknologi, hasil aplikasi
sains itu sendiri, dan dapat berupa nonmateri seperti teori-teori,
prinsip-prinsip, maupun hukum. Sains yang merupakan hasil pemikiran
dengan berbagai kompleksitas yang ada diterima oleh masyarakat saintis
maupun masyarakat pada umumnya dalam kehidupan bersama, sehingga
membudaya. Pembudayaan sains dimasyarakat terjadi melalui proses belajar
dengan berbagai aspeknya. Oleh sebab itu sains dapat dikatakan sebagai
subbudaya atau bagian dari budaya seperti ungkapan Geertz (Aikenhead & Jegede, 1999).
Sains “Science” yang dalam bahasa Jerman disebut “Wissenschaft”
terdiri dari cabang kajian dasar yaitu fisika, kimia, biologi,
astronomi, dan sosial sains seperti ekonomi, sosiologi, dan politik
(Kemeny, 1959). Sains merupakan pengetahuan sebagai subbudaya,
sebagaimana pengertian budaya menurut Edward B. Taylor yaitu merupakan
kompleks keseluruhan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum,
moral, kebiasaan dan kecakapan lainya serta kebiasaan yang diperoleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Haviland, 1988).
Sains
dapat dikatakan sebagai subbudaya, sebagaimana makna budaya yang
merupakan objek yang diterima masyarakat yang merupakan proses sosial
tanpa henti berkaitan pikiran dan diri melalui pendidikan sebagai sarana
pembudayaan. Oleh sebab itu sains sebagai subbudaya bersifat dinamis
dan terus berkembang dari zaman ke zaman dalam berbagai kelompok
masyarakat.
2. Peran Budaya dalam Pencapaian Tujuan Pembelajaran Sains (Kimia)
Pengetahuan sains sebagai suatu subbudaya merupakan sistem pengetahuan mencerminkan praktek-praktek budaya. Siswa
berpikir dan mengemukakan hasil pikirannya sesuai dengan praktek budaya
asal dari kehidupan kesehariannya. Ketidaksesuaian proses pembelajaran
yang dilakukan oleh pendidik, juga dalam bentuk buku ajar, dalam sudut
pandang tertentu yang berbeda dengan siswa yang berasal dari budayanya
mengakibatkan ketertarikan, minat, jumlah siswa yang mengikuti pelajaran
sains sangat berkurang. Pertentangan yang
terjadi antara pendidik sains dan siswa karena tanpa disertai sudut
pandangnya tentang dunianya saat belajar sains dalam aspek-aspek
epistemologi, aksiologi maupun ontologi. Pertentangan ini hendaknya
dikurangi, bahkan dihilangkan agar sains dapat dikuasai siswa
(Aikenhead, 2005).
Siswa
yang sedang belajar sains layaknya seperti seorang pelintas batas
antara dua budaya yaitu nilai-nilai budaya keseharian mereka dengan
nilai-nilai budaya sains dan sekolah. Costa (Aikenhead dan Jegede, 1999)
mengelompokkan siswa ke dalam lima kategori berdasarkan cara mereka
menerima dan memperoleh budaya sains dan sekolah. Kelima kelompok siswa
dengan cara bertransisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Kelompok pertama disebut “Potential Scientists”.
Kelompok ini terdiri dari siswa yang dapat melintasi batas budaya
dengan peralihan yang mulus. Siswa pada kelompok ini juga gigih dan
tekun dalam belajar sains. Hal tersebut disebabkan budaya keseharian
siswa di keluarga dan lingkup pergaulan sama ”congruent” dengan budaya sains dan sekolah.
b. Kelompok kedua disebut ”Other Smart Kids” yaitu kelompok siswa yang dapat melewati transisi batas budaya sains barat dan sekolah dengan baik melalui penanganan ”manageable”
tertentu oleh guru. Mereka masih menganggap dan mengakui bahwa sains di
sekolah sebagai budaya yang asing. Transisi budaya siswa dapat
dilakukan dengan keterlibatan guru karena budaya keseharian siswa di
keluarga dan lingkup pergaulan sama ”congruent” dengan budaya sekolah namun tidak sesuai dengan budaya sains.
c. Siswa kelompok ketiga disebut ”I Don’t Know Student”.
Siswa kelompok ini mengalami masalah serius dalam melintasi batas
budaya dalam belajar sains, tetapi tetap berusaha untuk mengatasi
masalah tersebut agar tidak dikatakan gagal. Transisi budaya siswa
cenderung berbahaya “hazardous” atau mengalami kegagalan sebab budaya keseharian siswa di keluarga dan lingkup pergaulan tidak sesuai ”inconsistent” dengan budaya sains dan sekolah.
d. Kelompok keempat disebut “Outsider”
kelompok ini terdiri dari siswa yang cenderung terasing selama
mengikuti proses pembelajaran sains. Kelompok ini mengalami masalah
dalam melintasi batas budaya yang dikarenakan adanya pertentangan ”discordant”
antara budaya keseharian di rumah dan di sekolah. Kelompok ini juga
cenderung mempertahankan budayanya sehingga bagi mereka tidak mungkin
untuk melewatinya, dengan demikian budaya sains dan sekolah tetap asing
bagi mereka.
e. Kelompok kelima disebut “Inside Outsider”
yaitu kelompok siswa yang tertarik pada sains tetapi hampir tidak
mungkin untuk melintasi batas budaya keseharian dengan budaya sains dan
sekolah karena mereka merasa putus asa dan kesulitan dalam transisi
budaya tersebut. Sekolah menjadi faktor
pendiskriminasi karena sekolah tidak menyediakan proses pembelajaran
yang peduli pada nilai-nilai budaya siswa. Kesulitan dan keputusasaan
siswa dalam transisi budaya dalam belajar sains disebabkan oleh budaya
keseharian siswa di keluarga dan lingkup pergaulan sangat bertentangan ”irreconcilable”
dengan budaya sekolah tetapi memiliki potensi sesuai dengan budaya
sains. Aikenhead (2001) menambahkan satu cara siswa bertransisi yaitu
kelompok siswa “I Want to Know Student “. Siswa kelompok ini
tertarik untuk memahami sains dengan mejelajahi batas budaya hingga
memungkinkan secara efektif memahami sains, tetapi mereka menemukan
tantangan.
3. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Pesisir
Tahapan
proses pembelajaran pada rencana pelaksanaan pembelajaran berbasis
budaya pesisir yang dikembangkan terdiri atas kegiatan awal, inti, dan
akhir. Kegiatan awal terdiri dari dua tahap yaitu tahap I dan II. Tahap
I, guru mengungkap konsepsi awal siswa tentang materi pokok (konsep)
yang akan dikuasai siswa dengan mengajukan pertanyaan yang berkaitan
dengan tradisi budaya masyarakat pesisir. Guru menampung semua pendapat siswa. Tahap II, guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan budaya pesisir
dan konsep kimia yang akan dipelajari untuk memotivasi siswa untuk
memicu munculnya dua konflik skemata. Jawaban siswa di mintakan kembali
tanggapan siswa lainya.
Kegiatan
inti terdiri dari dua tahap yaitu tahap III dan IV. Tahap III, siswa
melalui bimbingan guru pada tahap ini melaksanakan percobaan sederhana
atau diskusi kelompok. Percobaan dimaksudkan untuk mengungkap fenomena
yang berkaitan dengan budaya dan topik yang diajarkan. Ketika percobaan,
siswa diberikan keleluasaan untuk mengekspresikan gagasannya, sedangkan
guru sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing. Lingkungan
belajarnya diciptakan yang fleksibel, menarik, dan siswa merasa senang
tanpa tertekan dalam menjelajah sains. Sasarannya adalah siswa dapat
mengenali materi baru yang akan dipelajari melalui observasi dan
diskusi. Tahap IV, guru menyampaikan atau siswa diminta mengungkapkan
budaya melalui pertanyaan pengarah oleh guru tentang fenomena budaya
yang berkaitan dengan topik kimia yang dipelajari. Siswa diminta
menanggapi fenomena yang disajikan guru. Petunjuk langkah-langkah
percobaan yang harus dilaksanakan siswa tertuang dalam bentuk lembar
kerja siswa (LKS).
Tahap V terdapat dalam kegiatan akhir. Guru pada tahap ini, menyajikan atau siswa diminta mengungkapkan tradisi budaya yang berkaitan dengan kimia melalui
pertanyaan pengarah oleh guru, sehingga siswa setelah mengalami konflik
kognitif dalam berhadapan dengan pengetahuan yang baru diperoleh siswa
dan pengetahuan budaya berdasarkan pengalaman keseharian siswa
menimbulkan proses belajar kolateral simultan pada diri siswa. Tujuan
dari tahap ini adalah agar siswa mengasimilasi atau mengakomodasi
pengetahuan yang baru diperoleh siswa, pemahaman, sikap, dan nilai–nilai
budaya yang terkait.
F. Rencana dan Prosedur Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Penelitian PTK dilakukan sebanyak tiga siklus. Setiap siklus terdiri
dari perencanaan, pelaksanaan tindakan dengan pembelajaran asam-basa
dengan menerapkan model pembelajaran berbasis budaya dan observasi,
serta refleksi (Arikunto dkk, 2007: 16) dan (Burns, 1999: 33; Lewin
dalam Sukmadinata, 2005: 145).
Disain
penelitian tindakan salah satunya adalah model Kemmis dan Mc Taggrat,
yaitu berupa perangkat atau untaian-untaian dengan satu perangkat yang
terdiri dari empat komponen antara lain: perencanaan, tindakan,
pengamatan dan refleksi. Keempat komponen yang berupa untaian tersebut
dipandang sebagai satu siklus. Model tersebut
digambarkan seperti Gambar 1. Siklus pada tindakan ini merupakan suatu
putaran kegiatan yang berbentuk spiral terdiri dari perencanaan,
tindakan, observasi, dan refleksi (Depdikbud,1999: 22).
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan adalah siswa SMA Negeri 2 Tanjungpinang Kelas XI sebanyak 40 orang dan seorang guru kimia.
3. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dilakukan dengan tahapan:
1) Perencanaan tindakan
a) Menentukan pokok bahasan yang akan dijadikan sasaran dalam tindakan.
b) Merancang RPP
c) Menyusun skenario pembelajaran yang sesuai dengan strategi, metoda, dan teknik yang ditetapkan.
d) Menyiapkan Lembar Kerja Siswa (LKS)
e) Menyiapkan sumber belajar
f) Menyiapkan format laporan observasi aktivitas guru dan siswa serta tanggapan siswa.
g) Menyusun instrumen pengumpul data
h) Menetapkan indikator pencapaian hasil belajar.
i) Menyiapkan format evaluasi
2) Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan
tindakan merupakan pelaksanaan proses pembelajaran pada materi pokok
asam-basa dengan langkah-langkah model pembelajaran berbasis budaya
pesisir. Langkah-langkah proses pembelajaran dilakukan dengan lima
tahapan.
3) Observasi
Observasi
dilakukan oleh guru mitra saat pelaksanaan pembelajaran. Hal-hal yang
diobservasi yaitu kegiatan atau aktivitas guru, aktivitas siswa.
Aktivitas guru diobservasi mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti,
hingga kegiatan akhir. Observasi aktivitas siswa dilakukan terhadap
aktivitas bertanya, menanggapi pertanyaan, aktivitas diskusi, serta
kerja praktikum.
4) Refleksi
Refleksi
dilakukan setelah hasil observasi diperoleh. Hasil observasi digunakan
untuk refleksi perbaikan tindakan guru dalam pelaksanaan proses
pembelajaran pada siklus selanjutnya.
4. Alat Pengumpul Data
Alat
pengumpul data yang digunakan adalah lembar observasi aktivitas guru
dan siswa, angket tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran, dan soal
tes.
5. Teknik Analisis Data
Analisis
data kualitatif berupa data hasil observasi dianalisis secara
deskriptif berdasarkan pendapat ahli pada setiap siklus pada tahapan
refleksi. Hasil refleksi digunakan untuk merevisi tindakan melalui
perencanaan tindakan pada siklus selanjutnya. Analisis data kualitatif
didukung oleh data kuantitatif dari hasil tes. Data kuantitatif hasil
tes dihitung rata-ratanya untuk melihat ketercapaian KKM.
G. Jadwal Penelitian
Jadwal
penelitian meliputi perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan
laporan hasil penelitian. Jadwal penelitian diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan PTK
No
|
Rencana Kegiatan
|
Bulan/Minggu ke ..... (2011)
| |||||
Juli
|
Agustus
| ||||||
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
| ||
A. Persiapan
|
X
| ||||||
1
|
Menyusun konsep pelaksanaan
|
X
| |||||
2
|
Menyepakati jadwal dan tugas
|
X
| |||||
3
|
Menyusun instrumen
|
X
| |||||
4
|
Menginformasikan konsep pelaksanaan
|
X
| |||||
B. Pelaksanaan PTK
| |||||||
1
|
Menyiapkan kelas dan alat
|
X
| |||||
2
|
Melakukan tindakan siklus I
|
X
| |||||
3
|
Melakukan tindakan siklus II
|
X
| |||||
4
|
Melakukan tindakan siklus III
|
X
| |||||
C. Penyusunan Laporan
| |||||||
1
|
Menyusun dan perbaikan laporan
|
X
| |||||
2
|
Penggandaan hasil
|
X
|
DAFTAR PUSTAKA
Aikenhead, G. S. (2005). Cultural Influences on the Dicipline of Chemistry. Saskatoon: University of Saskatchewan.
Arikunto S., Suhardjono., Supardi. (2007). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Baker,
D. (1995). The Effect of Culture on Learning of Science in non-Western
Countries: The Results of a Integrated Research Review. International Journal Science Education. Vol. 17(6).
Basuki, A & Liliasari. (2009). Upaya Guru dan Pemahaman Siswa Pada Pembelajaran Kimia di SMP. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan. LEMLIT Dan FKIP UNILA. Bandar Lampung.
Burns Anne. (1999). Collaborative Action Research for English Language Teacher. Cambridge: Cambridge University Press.
Cobern, W. W & Aikenhead, G. S. (1996). Cultural Aspect of Learning Science. SLCSP Working paper#121. Tersedia. [on-line] http://www.wmich.edu/slcsp/121.htm (11 Februari 2007).
Depdiknas. (2007a). Naskah Akademik: Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran IPA. Tersedia [on-line]. http://www.puskur.net. (3 April 2008).
Jegede, J. O & Aikenhead, S. G. (1999). Transcending Culural Border: Implication for Science Teaching. Journal for Science & Technology Education. Vol 17 (1). pp 45-66.
De Jong,O, dan Van Driel, (2005). Teachers’. Exploring The Development of Student PCK of The Multiple Meanings of Chemistry Topics. International Journal of Science and Mathematics Education. Vol. 2: pp 477–491.
Klos, L.M. (2006). Using Cultural Identity to Improve Learning. The Educational Forum. Vol. 70. pp.363-370.
Stanley, W. B & Brickhouse, N. W. (2001). The Multicultural Question Revisited. Science Education. Vol 85 (1). Pp.35-48.
Sukmadinata, N.S, (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar